Pemerintah Diminta Hilangkan Diskriminasi Status Guru
Jum'at, 25 November 2011 14:52 wib
ilustrasi (foto: okezone)
JAKARTA - Pemerintah dinilai diskriminatif
dalam hal pengelompokan status guru. Hal itu dapat dilihat dari masih
adanya kesenjangan pendapatan, tunjangan, dan fasilitas yang diterima
oleh guru tidak tetap (honorer).
Berdasarkan data yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2010 (sekarang Kemdikbud), pemerintah menggolongkan guru menjadi beberapa kelompok, yakni Guru PNS, PNS Depag, PNSDPK, Guru Bantu, Guru Honor Daerah, Guru Tetap Yayasan, dan Guru Tidak Tetap.
Penggolongan inilah yang dianggap berakibat pada perbedaan pendapatan, tunjangan, dan fasilitas yang mereka terima. Demikian disampaikan Anggota Komisi X DPR Raihan Iskandar di Jakarta, Jumat (25/11).
“Kesenjangan pendapatan itu misalnya, terlihat dari penghasilan yang diterima oleh guru PNS yang bisa mencapai Rp6 juta setiap bulan. Di pihak lain, secara kontras, guru tidak tetap (honorer) hanya mendapatkan honor dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang besarnya bervariasi mulai dari Rp200.000 perbulan sampai Rp500.000 perbulan.“ ungkap Raihan.
Padahal, kata dia, tugas para guru tidaklah berbeda. Para guru memiliki tugas yang sama yaitu mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai,dan mengevaluasi peserta didik sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Bahkan, Raihan banyak menemukan kasus dimana tugas yang seharusnya dikerjakan oleh guru tetap, justru dilakukan oleh guru honorer.
Dia menambahkan, masih adanya perlakuan yang diskriminatif juga menunjukkan bahwa Pemerintah belum sepenuhnya menempatkan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dinyatakan dalam pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen tersebut.
“Pemerintah harus memberikan kesempatan yang sama bagi semua guru, baik guru tetap, maupun honor untuk mendapatkan haknya sebagai tenaga profesional tersebut. Pasal 34 ayat (1) UU Guru dan Dosen tersebut menyatakan bahwa pemerintah dan Pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan atau masyarakat.” paparnya.
Oleh karena itu, Raihan mengingatkan momentum Hari Guru tanggal 25 November ini, jangan sekadar dijadikan ajang seremonial belaka, tapi harus benar-benar menunjukan keseriusan Pemerintah untuk menghilangkan kebijakan-kebijakan yang diskriminatif di kalangan guru.
(Adam Prawira/Koran SI/put)
Berdasarkan data yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2010 (sekarang Kemdikbud), pemerintah menggolongkan guru menjadi beberapa kelompok, yakni Guru PNS, PNS Depag, PNSDPK, Guru Bantu, Guru Honor Daerah, Guru Tetap Yayasan, dan Guru Tidak Tetap.
Penggolongan inilah yang dianggap berakibat pada perbedaan pendapatan, tunjangan, dan fasilitas yang mereka terima. Demikian disampaikan Anggota Komisi X DPR Raihan Iskandar di Jakarta, Jumat (25/11).
“Kesenjangan pendapatan itu misalnya, terlihat dari penghasilan yang diterima oleh guru PNS yang bisa mencapai Rp6 juta setiap bulan. Di pihak lain, secara kontras, guru tidak tetap (honorer) hanya mendapatkan honor dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang besarnya bervariasi mulai dari Rp200.000 perbulan sampai Rp500.000 perbulan.“ ungkap Raihan.
Padahal, kata dia, tugas para guru tidaklah berbeda. Para guru memiliki tugas yang sama yaitu mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai,dan mengevaluasi peserta didik sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Bahkan, Raihan banyak menemukan kasus dimana tugas yang seharusnya dikerjakan oleh guru tetap, justru dilakukan oleh guru honorer.
Dia menambahkan, masih adanya perlakuan yang diskriminatif juga menunjukkan bahwa Pemerintah belum sepenuhnya menempatkan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dinyatakan dalam pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen tersebut.
“Pemerintah harus memberikan kesempatan yang sama bagi semua guru, baik guru tetap, maupun honor untuk mendapatkan haknya sebagai tenaga profesional tersebut. Pasal 34 ayat (1) UU Guru dan Dosen tersebut menyatakan bahwa pemerintah dan Pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan atau masyarakat.” paparnya.
Oleh karena itu, Raihan mengingatkan momentum Hari Guru tanggal 25 November ini, jangan sekadar dijadikan ajang seremonial belaka, tapi harus benar-benar menunjukan keseriusan Pemerintah untuk menghilangkan kebijakan-kebijakan yang diskriminatif di kalangan guru.
(Adam Prawira/Koran SI/put)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar